Kamis, 10 Januari 2013

Being a Women, A Wife, and A Mother

Here's a thought.

Habis nonton infotainment lokal di salah satu stasiun TV, dan melihat liputan beberapa perempuan yang sedang hamil juga telah melahirkan.

Melihat kembali liputan perempuan-perempuan itu sebelum hamil, yang ada dikepala saya langsung, betapa melahirkan itu merubah segalanya dari seorang perempuan, betul-betul lahir batin.

Mulai dari hidup yang berubah total, dan yang paling terlihat jelas, fisik yang berubah.

I'm not saying it's bad, giving birth and having children is one of the great thing ever happen in a women's life , I personally wouldn't change a bit and never regret of having my children, pasti perempuan perempuan lain juga seperti itu.

Saya cuma mau bilang, It's a BIG commitment. Probably the strongest commitment a women ever have to do in life, jauh dibandingkan komitmen ketika memutuskan untuk menikah. True.

Gak perlu lah ya saya ceritakan kebahagiaan memiliki anak, karena apapun yang terjadi, kebahagiaan memiliki anak itu ga akan ada tandingannya. 

Tapi disini saya mau berbagi tentang perubahan, tentang fisik sebagian perempuan yang tubuhnya menjadi besar, atau menjadi semakin kecil (seperti saya), bekas luka pasca operasi caesar, kulit yang sensitif terhadap alat KB, perut yang membuncit, stretch-marked, rambut rontok, tidak ketinggalan perasaan tidak nyaman yang luar biasa ketika harus duduk dengan posisi kedua kaki terbuka lebar, saat kita harus diperiksa bagian dalam oleh dokter/suster melalui vagina, sampai beberapa hal yang mungkin tidak terlihat secara fisik, tapi sangat terasa. 

Beberapa yang dibilang orang sebagai pengorbanan, tapi disini menurut saya lebih tepat dibilang penyesuaian. 

Penyesuaian yang sangat-sangat drastis.

Perasaan yang asing.

Perasaan dimana rasa bahagia luar biasa tercampur dengan perasaan takut yang amat sangat.

Perasaan takut yang teramat sangat dalam menghadapi semua perubahan.

Perasaan kehilangan sekaligus perasaan lengkap.

Perasaaan kehilangan sebagian diri kita, lost in a new phase of being a mother, tapi juga merasa sangat lengkap dan sempurna memiliki anak.

Aneh, memang aneh. Sama anehnya seperti sistem hormon dan emosi dalam tubuh ini yang naik-turun tanpa bisa kita kontrol.

Saya bahkan ga pernah membayangkan bisa merasakan dua hal yang sama sekali berlawanan, yang keduanya sama kuat, dan bisa ada.

Saat dimana eksistensi kita ada di dunia ini bukan lagi hanya untuk diri kita sendiri, tapi karena ada mahluk lain yang sangat bergantung pada kita sebagai Ibu. Disaat kita saja belum sempurna mengurus diri sendiri & suami.

Saat dimana hak kita untuk memikirkan diri sendiri jadi terkesan sangat egois.

Beberapa hal yang mungkin akan sangat sulit dimengerti oleh para suami, antara lain adalah rasa trauma untuk berhubungan intim setelah melahirkan.

Banyak suami yang mengeluh karena pasangan tidak mau berhubungan intim setelah melahirkan, padahal sudah melewati 40 hari yang dalam Islam sudah boleh berhubungan lagi.

Dear husband, if only you knew what we're going through... what kind of feelings we encountered... 

Trauma rasa sakit saat melahirkan, takut hamil lagi, sampai memang murni merasa tidak bergairah untuk berhubungan intim. Bisa karena hormon, terlalu letih mengurus anak, sampai pikiran bahwa, semua itu tidak penting lagi. It happen.

Perasaan ingin lebih dimengerti oleh suami, perasaan tidak adil karena merasa sebagai pihak yang lebih banyak melakukan penyesuaian dengan kehadiran anak, sementara suami tidak mengalami perubahan hormon apapun.

Faktanya, walaupun sudah punya anak, secara fisik pria tidak kekurangan sesuatu apapun dalam dirinya, hormon tetap ada dan berjalan seperti biasanya, kebutuhan akan seks pun tetap sama, tidak seperti pada perempuan, dimana kebutuhan akan seks seakan jadi terkalahkan oleh perasaan takut akan rasa sakit yang dialami para perempuan.

Ada yang sampai berpikir, lebih baik tidak usah berhubungan intim daripada harus merasakan sakit apalagi sampai hamil lagi.

Belum lagi untuk perempuan yang bekerja, baik mereka yang bekerja karena keharusan membantu keuangan keluarga, sampai yang memang bekerja karena tetap ingin berkarier.

Ini masalah cita-cita, kebutuhan perempuan untuk bisa tetap berkarier dan membangun mimpinya dalam pekerjaan.

Hampir bisa dipastikan, sebagian besar anak tidak merasa terlalu kehilangan kalau ayahnya pergi bekerja, tapi ketika ibunya yang harus bekerja, rasanya seperti kehilangan pegangan, rasa takut yang luar biasa karena selama cuti hamil, ibu sangat dekat dan bisa dibilang tidak pernah meninggalkan anaknya.

Dari kejadian itu saja sudah tak terbayangkan perang batin yang luar biasa untuk si Ibu, meninggalkan anak bekerja, mempercayakan hartanya yang paling berharga kepada orang lain, membayangkan tangisnya, memikirkan susunya, makannya, memikirkan sejuta kekhawatiran terjadi apa-apa pada sang anak. Menangis di toilet kantor saat memompa ASI.

Rasa bersalah yang begitu dalam sampai-sampai ketika pulang kerja, SELETIH APAPUN, yang ingin kita lakukan hanyalah segera menggantikan waktu untuk mengurus mereka yang terbuang saat kita tinggalkan bekerja. Bukan lagi memikirkan menghabiskan waktu yang tersisa untuk diri sendiri, apalagi untuk suami. Pikiran dan tenaga seakan sudah habis terpakai untuk memikirkan masalah anak dan pekerjaan dikantor. Masih ingat dan bisa makan dengan tenang dirumah saja sudah bagus.

Terkadang, tanpa disadari, kebutuhan dan prioritas kita sebagai perempuan jadi bergeser, sedangkan kebutuhan suami tetap ada, dan bahkan bisa semakin besar ketika tidak terpenuhi. 

Sehingga terjadi perbedaan respon saat suami mengajak berhubungan intim, kita menolak atau berpikir bahwa yang ada dipikiran mereka hanya itu saja, sedangkan yang ada dipikiran suami adalah mereka sudah bersabar menunggu kesiapan kita, dan seharusnya kita tidak punya alasan lagi untuk menolak.

Keadaan ini terus berlanjut karena masing-masing merasa sebagai pihak yang paling mengerti.

Ini terjadi betul-betul. 

Tolong jangan dikaitkan apa yang saya tulis di blog ini selalu masalah pribadi saya, karena apa yang menginspirasi cerita saya di blog ini bisa dari banyak hal yang saya lihat, saya baca, saya dengar, dan saya rasa.

Saya memang "sempat" mengalami beberapa dilema ini, tapi entah karena saya tipe yang terlalu banyak menganalisa, saya cepat menemukan solusi untuk menyelesaikan masalah yang terjadi tentang ini. 

40 hari atau setelah Nifas selesai, saya mencoba berempati terhadap kebutuhan suami, setidak adil apapun saya merasa keadaan ini untuk seorang perempuan, saya berusaha untuk berpikir sesering mungkin bahwa ini memang sudah kodrat saya sebagai seorang perempuan.

Terkadang berhasil membuat saya menerima keadaan dengan lebih sabar, terkadang mengucurkan airmata dan terkadang merasa masa bodo dan sesekali berhak untuk egois. Which is ok, we're only human after all, but only some time, not all the time ya.

Menurut saya, sebesar apapun keinginan kita sebagai perempuan untuk memperoleh keadlilan, persamaan hak dan kewajiban, faktanya kita memang harus berbeda. sedari lahir fisik saja sudah berbeda.

Bukan salah suami juga mereka memiliki kebutuhan biologis, itu sudah sistem yang mengalir ditubuhnya. Kalau perempuan bisa mengeluarkan hormon berlebih melalui menstruasi, melalui memberi ASI. Suami hanya bisa mengeluarkan kebutuhan itu dengan seks. Belum lagi kalau dibayangkan penelitian yang mengatakan berapa banyak dalam sehari pria memikirkan tentang seks, bisa dibayangkan sudah berapa lama hasrat itu tertumpuk sambil menunggu masa Nifas istri selesai.

Bukan salah suami bahwa yang harus hamil & melahirkan itu perempuan, begitu juga dengan efek samping yang terjadi setelahnya. Mungkin kalau hidup ini bisa bergantian, kita bisa menuntut mereka untuk bergantian hamil dan melahirkan, tapi kan tidak mungkin.

Entah itu kebetulan atau keberuntungan, peran paling "nyata" suami atas kehamilan ya memang mendonorkan spermanya. Itu saja. Peran penting suami lainnya hanyalah berusaha supportif dan menerima kehamilan istri lengkap dengan perubahan emosi dan fisiknya.

Salah satu hal yang membuat saya memberanikan diri untuk melawan rasa takut untuk berhubungan intim lagi dengan suami setelah nifas adalah ketika membaca satu artikel tentang seks di salah satu majalah yang saya sendiri sudah lupa apa, tapi kalimatnya yang paling saya ingat, yaitu bagian yang mengatakan "gairah seks perempuan yang menurun setelah melahirkan itu merupakan hal yang normal,  tapi gairah ini bisa benar-benar hilang apabila pasangan tidak tidak berusaha melakukan sesuatu untuk mengembalikannya".

Secara akal sehat, kalimat itu masuk dilogika saya, sama seperti rasa sayang yang tidak dipupuk, semakin lama akan semakin pupus. Saya berpikir, mungkin kalau saya berusaha menghidupkan kembali kebutuhan biologis saya, lama kelamaan semua akan kembali seperti dulu, dan ini berhasil, bahkan bisa jadi lebih baik dari sebelumnya, asalkan kita bisa mencari solusi untuk membuang kekhawatiran kita, supaya resiko-resiko yang kita takuti tidak terjadi..

Caranya bisa berbeda bagi tiap pasangan, oleh karena itu yang terpenting adalah benar benar berniat untuk membuat hubungan kembali harmonis dengan pasangan. 

Yang perlu dilakukan oleh suami juga menunjukan sikap pengertian yang luar biasa dan berusaha memposisikan diri sebagai istri, termasuk membayangkan rasa sakit yang dialami perempuan saat melahirkan. Like really try to imagine.

Semakin kemari, saya menyadari bahwa membangun hubungan tentunya perlu proses dan niat. Tapi jujur, rasa sayang dan komunikasi sangat penting dalam melewati masa-masa ini. Karena ketika kita menyayangi dan mencintai pasangan secara tulus, segala sesuatu walaupun yang terberat tidak akan terasa seperti pengorbanan, saya sadari ini sebagai proses pematangan hubungan antara suami & istri.

Reward-nya pun tidak terhingga.

---
Kalau diingat kembali, Maha Adil Allah menciptakan seorang anak untuk pasangan suami-istri, karena tanpa anak, entah akan ada berapa perceraian yang terjadi di dunia ini. Laki-laki yang mencari wanita lain, wanita yang merasa bisa hidup mandiri tanpa bergantung pada suami, dan banyak masalah-masalah RT yang lain.

Karena anak, banyak hubungan bertahan, pasangan mencoba untuk memperbaiki rumah tangga mereka, mau belajar melihat kekurangan sendiri sebelum melihat kekurangan pasangan, dan banyak yang berhasil menumbuhkan kembali rasa sayang yang mungkin sebelumnya hilang.

Membangun rumah tangga dengan perasaan saling mengerti, saling membantu, saling menjaga, saling menghormati.

Karena anak juga banyak hubungan yang bertahan, orang tua yang berpikir, bahwa kebahagiaan mereka, bukanlah yang terpenting saat ini, tapi kebahagiaan anak untuk memiliki keluarga yang utuh adalah segalanya.

No one ever said it's easy, hanya pasangan betul betul mau berusaha yang berhasil melalui semua rintangan dan perbedaan dalam rumah tangga. Saling menutup kekurangan. Aib suami, adalah aib kita juga.

Menjadi pribadi yang baik, untuk masa depan anak, titipan  Allah.

Friday, 11 Januari 2013,
Beruntung dan bersyukur.

Tidak ada komentar: